Jakarta dan cinta sebelah hati*
Ada hal-hal kecil soal Jakarta yang membuat saya merasa romantis. Ini semua hanya hal-hal kecil, semacam kebahagian sederhana yang tiba-tiba menyeruak saat tubuh sudah minta dibasuh karena lengket keringat padahal macet masih menghadang, tetapi kita tak lagi kesal, karena hati penuh dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu.
Hal-hal kecil ini, begitu kecil dan begitu sederhana. Kita tak pernah tahu dia akan muncul dari mana.
Kebahagiaan sederhana ini bisa berasal dari pemain saxophone yang saya temui jika menyebrangi jembatan dukuh atas sebelum jam 8 malam. Agak berlebihan, tetapi begitu segar mendengar saxophone di tengah ingar kemacetan, di tengah gemuruh klakson di bawah sana. Dan tiba-tiba saya jatuh cinta pada imajinasi saya mengenai si pemain saxophone yang menyeruak dalam otak kecil saya.
Kebahagiaan sederhana ini adalah mural bercampur vandal di kolong jembatan landmark. Waktu-waktu tertentu mereka dihapus, tetapi kembali muncul di saat kita tak pernah sangka. Entah mural atau vandal, sama menariknya.
Sesaat dia dipenuhi iklan berbentuk mural mengenai pekan seni di sebuah kampus kesenian di Jakarta. Lalu iklan tersebut perlahan ditutupi mural lain. Beberapa politis, beberapa eksotis. Rasanya seperti berwisata setiap kali saya melewati kolong jembatan itu.
Waktu lain, kebahagiaan itu datang dari kaki dan corong-corong earphone.
Saat kaki melangkah dan musik berganti, tiba-tiba kita sudah sampai pada saat yang tepat.
Lalu waktu terasa begitu pendek, karena kebahagiaan kecil menyurut seiring dengan terhentinya ayunan tumit. Berjalan kaki di Jakarta memang tak nyaman, tetapi bukan berarti tak membawa kebahagiaan.
Mungkin karena saya terlalu sering melihat perempuan dijadikan komoditas dengan karakter tipikal dalam iklan, sinetron, ataupun film layar lebar, maka saya jadi menyamakan Jakarta sebagai perempuan cantik yang punya kuasa, tetapi sering kali manja.
Ada sedikit karakter Jakarta dalam peran Angelina Jolly di Salt (film yang tidak saya rekomendasikan), perempuan cantik, keras, mandiri, yang butuh cinta. Jakarta itu pesakitan, diburu, dicaci, tapi dia tegar berdiri. Dia tahu apa yang dia tuju, dia tahu apa yang dia mau, dan sebaiknya jangan cari masalah dengannya.
Jakarta akan manis pada siapa yang dapat mengambil hatinya, dan dia akan menghabisi siapa yang membuatnya geram.
Baiklah, karena Salt tidak recomended, maka saya akan ganti tokoh kita menjadi Uma Thurman dalam Kill Bill. begitulah Jakarta. Dan seperti Beatrix Kiddo, ada hal-hal kecil mengejutkan mengenai dia yang kita tak pernah sangka. Hal-hal kecil yang membuat kita diam-diam mencintainya.
Jakarta itu seperti pria yang kita temui di kereta, lalu kita putuskan untuk mengobrol dengannya, dan tidak sengaja ada kecocokan di sana. Jakarta adalah saat Celine bertemu Jesse sebelum matahari terbit (before sunrise), lalu diam-diam saling tertarik, efek dari reramu gejolak rasa penasaran, dan pertemuan di saat yang tepat.
Begitulah Jakarta. bagi saya Jakarta bukan rumah. Jakarta adalah perjalanan yang saya cinta sepenuh hasrat, meski sebelah hati.
*Sekadar catatan membunuh bosan menunggu pesawat
Hal-hal kecil ini, begitu kecil dan begitu sederhana. Kita tak pernah tahu dia akan muncul dari mana.
Kebahagiaan sederhana ini bisa berasal dari pemain saxophone yang saya temui jika menyebrangi jembatan dukuh atas sebelum jam 8 malam. Agak berlebihan, tetapi begitu segar mendengar saxophone di tengah ingar kemacetan, di tengah gemuruh klakson di bawah sana. Dan tiba-tiba saya jatuh cinta pada imajinasi saya mengenai si pemain saxophone yang menyeruak dalam otak kecil saya.
Kebahagiaan sederhana ini adalah mural bercampur vandal di kolong jembatan landmark. Waktu-waktu tertentu mereka dihapus, tetapi kembali muncul di saat kita tak pernah sangka. Entah mural atau vandal, sama menariknya.
Sesaat dia dipenuhi iklan berbentuk mural mengenai pekan seni di sebuah kampus kesenian di Jakarta. Lalu iklan tersebut perlahan ditutupi mural lain. Beberapa politis, beberapa eksotis. Rasanya seperti berwisata setiap kali saya melewati kolong jembatan itu.
Waktu lain, kebahagiaan itu datang dari kaki dan corong-corong earphone.
Saat kaki melangkah dan musik berganti, tiba-tiba kita sudah sampai pada saat yang tepat.
Lalu waktu terasa begitu pendek, karena kebahagiaan kecil menyurut seiring dengan terhentinya ayunan tumit. Berjalan kaki di Jakarta memang tak nyaman, tetapi bukan berarti tak membawa kebahagiaan.
Mungkin karena saya terlalu sering melihat perempuan dijadikan komoditas dengan karakter tipikal dalam iklan, sinetron, ataupun film layar lebar, maka saya jadi menyamakan Jakarta sebagai perempuan cantik yang punya kuasa, tetapi sering kali manja.
Ada sedikit karakter Jakarta dalam peran Angelina Jolly di Salt (film yang tidak saya rekomendasikan), perempuan cantik, keras, mandiri, yang butuh cinta. Jakarta itu pesakitan, diburu, dicaci, tapi dia tegar berdiri. Dia tahu apa yang dia tuju, dia tahu apa yang dia mau, dan sebaiknya jangan cari masalah dengannya.
Jakarta akan manis pada siapa yang dapat mengambil hatinya, dan dia akan menghabisi siapa yang membuatnya geram.
Baiklah, karena Salt tidak recomended, maka saya akan ganti tokoh kita menjadi Uma Thurman dalam Kill Bill. begitulah Jakarta. Dan seperti Beatrix Kiddo, ada hal-hal kecil mengejutkan mengenai dia yang kita tak pernah sangka. Hal-hal kecil yang membuat kita diam-diam mencintainya.
Begitulah Jakarta. bagi saya Jakarta bukan rumah. Jakarta adalah perjalanan yang saya cinta sepenuh hasrat, meski sebelah hati.
*Sekadar catatan membunuh bosan menunggu pesawat
Comments
Post a Comment