Cita-citaku kandas oleh tahi ayam (Menjadi Perempuan, part 1)

Dulu, dulu sekali. Mungkin 10, 15, 20 tahun lalu, aku benci terlahir menjadi perempuan.

Memang tidak ada yang terlahir sebagai perempuan, atau sebagai laki-laki. Semuanya adalah proses menjadi. Akan tetapi ada satu hal yang tak boleh dilupa, ekspektasi masyarakat dan lingkungan juga menjadi entitas penting yang menumbuhkan kita, entah menjadi perempuan maupun menjadi laki-laki.

Dan aku pernah benci sekali menjadi perempuan.
Aku bahkan juga pernah benci sekali menjadi perempuan kecil.

Saat berusia empat atau mungkin tiga, tetangga dan para sepupu yang lebih tua mulai berseragam. Putih-merah, gagah betul. Pagi-pagi mereka berangkat, pulang kala matahari di atas kepala. Beberapa baru kembali saat matahari mulai membuat bayangan tubuhku menjadi panjang. Itu 20 tahun lalu.

Aku juga ingin berseragam, diajari menggambar, berbaris, bermain clay, atau sekadar cara makan yang benar. Tapi 20 tahun lalu, usiaku belum lagi cukup untuk masuk TK kecil. Sehebat apapun aku merengek, tak juga bisa aku bersekolah.

Bosan merengek, aku habiskan waktu menonton ahli bangunan merajut rumah tetangga. Mereka pintal adonan semen, lalu ditisik pada tiap bebatuan. Penuh kerja keras dan nampak menyenangkan. Hingga aku bertekad menjadi ahli bangunan.

Setiap hari aku belajar mengadon tanah dan air, lalu dicampur sejumput semen curian. Lapis pertama adalah kerikil kecil, lalu adonan, dilapis kembali oleh kerikil kecil, pandai betul aku mencuri ilmu ahli bangunan di sebelah. Setiap hari, aku berhasil membangun satu rumah tanpa atap, lengkap dengan kamar-kamar. Lalu setiap pagi, kudapati rumahku hancur. "Digusur buldoser," begitu pikirku.

Itu adalah siklus yang aku pikir tidak akan pernah selesai, kubangun rumahku setiap hari, dan setiap pagi kudapati rumahku rata, bahkan tak ada sisa. Pernah kukira aku lupa letak rumah yang kubangun. Maka kususuri halaman kakek yang sebegitu luasnya, lebih mirip kebun rambutan, untuk mengelilinginya membuat jantungku berpacu cepat, keringat bercucuran. Tapi tak juga kutemui puing rumahku. Hanya sisa batang kembang api yang berjatuhan setelah digantung di dahan rambutan tadi malam.

Kalau sudah begitu, siklus pun dimulai. Kurancang calon bangunan di atas tanah, berupa sketsa yang mencong kanan mencong kiri. Tak satupun garisnya lurus. Aku adon kembali tanah, air dan sejumput semen curian. Kutata kerikil dan adonan pada sketsa di atas tanah. Kutunggu kering, lalu kupatut-patut puas. Kupandangi sepuas mungkin karena toh keesokan hari, kakekku si buldoser akan menghancurkannya.

Anehnya, suatu pagi, rumah yang kubangun kemarin masih ada, benar-benar ada, utuh, berdiri (meski tak sekokoh rumah yang dibangun ahli bangunan sebelah), tidak kurang satu apapun. Benar-benar ada di bawah pohon rambutan yang pada dahannya masih tersisa bakaran batang kembang api, menyembul di antara buah yang sebentar lagi dipanen.

Kudekati rumah itu dengan kebanggaan yang jumawa. Kesenangan yang menggebu-gebu. Satu-satunya rumahku yang bertahan melewati malam. Buldoser pasti berfikir rumah ini terlalu bagus untuk dihancurkan. Juara!

Namun, di sebelah rumahku yang bertahan itu rupanya ada adonan yang berceceran. Ahh, harus segera kurapikan. Dengan riang kucolek adonan itu.
Hangat.
Selang beberapa detik, baru kusadari, kalau itu berasal dari adonan kemarin, harusnya dia sudah mengeras, itu artinya yang kucolek adalah...

Ah tidak-tidak, harus kupastikan terlebih dahulu.
Kudekatkan telunjukku ke rongga hidung...
Baru kemudian akhirnya dengan rongga peraba dan penciuman kkupastikan rumahku yang pertama kali bertahan melewati malam adalah rumah yang terakhir aku bangun.

Cita-cita pertamaku kandas oleh tahi ayam.

Lalu aku ganti permainan, permainanku kali ini tidak menuntutku untuk menyentuh banyak berpikir, apalagi merancang bangun. Permainanku sederhana. Aku cuma main rumah-rumahan. Rumahku biasanya dahan pohon rambutan, atau akar pohon asem yang menonjol keluar. Padapohon asem, rumahku adalah rongga di antara akarnya. Biasanya aku akan menentukan yang mana ruang tidur, ruang tamu dan  lain sebagainya.

Namun dari pada pohon asem, aku lebih suka pohon rambutan, karena pohon rambutan membuat rumahku jadi bertingkat. Lantai pertama adalah dahan terendah, lantai kedua adalah dahan di atasnya, begitu seterusnya. Maka mau tidak mau harus kupanjat pohon itu, hal itu akan meninggalkan sisa getah berwarna merah atau hijau daun yang tertinggal akibat gesekan.

Kakekku tidak suka aku main tanah dan merancang rumah. Begitu juga nenekku.
Ibu? Aku tidak tahu ibu menyukai kegiatanku atau tidak, dia sibuk bekerja kala aku bermain.

Membangun rumah atau menggali tanah untuk menyimpan harta karun akan membuat rok dan baju berendaku kotor, serupa warna tanah. Belum lagi sengatan matahari akan menambah cokelat kulitku, ditambah rambut  akan memerah. Menurut nenek, anak perempuan sebaiknya berkulit putih, tidak kotor, tidak bau tanah, tidak bau matahari dan tidak bau asem perpaduan keringat dan debu. Anak perempuan harusnya main bekel. Aku hanya tiga tahun lebih sedikit, dan nasehat nenek terlalu rumit.

Jadi aku merajuk, kembali minta bersekolah. Kata ibuku, sekolah itu jauh, harus menyeberangi kali Cisadane menggunakan getek, sedangkan aku hanya gadis kecil yang baru akan 4 tahun. Lagi pula 3,5 tahun masih terlalu kecil untuk berseragam TK

Ah, menjadi gadis apalagi kecil begitu rumit rupanya! Tak boleh menggali tanah, tak boleh memanjat pohon dan tak bisa bersekolah.

---bersambung...

lihat juga:
bagian kedua: berebut sarang dengan laba-laba

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah