berebut sarang dengan laba-laba (menjadi perempuan, part 2)
Keesokan paginya, siklusku yang lebih tetap dibandingkan membangun rumah (yang mana sudah kuputuskan tidak akan kulakukan lagi) dimulai: merengek, berteriak, menjerit-jerit. Ingin sekolah. Tak mau yang lain. Aku tak mau boneka. Aku tak mau digendong ayah. Aku cuma ingin sekolah. Aku tak mau Ibu tanpa Guru, aku cuma mau Ibu Guru.
Biasanya aku berhenti berteriak saat susu terhidang. Kuseruput sedikit demi sedikit. Rasanya tak enak. Tetapi Ibu bilang kalau rajin minum susu akan cepat besar, cepat pintar. Kalau aku cepat besar dan cepat pintar, tentu akan cepat bersekolah. Maka kutenggak susu itu sampai habis, tangan kanan memegang gelas, tangan kiri menjepit lubang hidung, mata tertutup. Yang penting bagaimana caranya memindahkan sesegera mungkin cairan putih itu ke dalam rongga setelah mulutku.
Minum susus dengan cara itu hanya kulakukan ketika ayah tak ada. Kalau ada ayah, aku pasti dimarahi. Menurut ayah tak sopan minum dengan cara begitu apa lagi aku perempuan.
"Jadi kalau aku laki-laki boleh minum seperti itu? Emang laki-laki itu apa?" tanyaku.
Ayah hanya menjelaskan bahwa laki-laki itu ayah dan perempuan itu ibu. Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya, siapa saja, tak boleh minum susu dengan cara begitu. Sayangya pertanyaan-pertanyaan selanjutnya hanya dijawab dengan "nanti juga kamu tahu kalau sudah besar."
Baiklah, aku benar-benar harus cepat besar!
Aku juga berhenti merengek saat lapar. Salah satu hidangan yang paling sering dihidangkan adalah sayur bayam atau kangkung, juga sayur sop. Kata ibu, sayur-sayur itu mengandung zat besi, baik buat kesehatan. Akan tetapi, anak tiga tahun mana yang peduli pada zat besi? Yang aku tahu kangkung sulit dikunyah, bayam rasanya kasar di lidah, dan daging sapi sulit ditelan. Namun ibu bilang, aku tidak akan pintar kalau tidak mau makan itu semua.
Ah, sulit rupanya menjadi pintar dan besar. Padahal kalau tidak pintar dan tidak besar, entah kapan aku bisa berseragam dan punya ibu guru. Kutelan juga itu bayam. Kukunyah, kulumat hingga hancur, agar mudah ditelan. Aku tidak peduli kalau aku makan begitu lama. Orang lain sudah kunyahan ketiga, aku baru menelan yang pertama. Toh ibu tidak pernah menjelaskan hubungan antara kecepatan makan dan menjadi pintar.
Sesudah makan, biasanya aku kembali merengek. Sekolah sekolah, terdengar begitu indah. Aku terus merengek sampai ada hal yang membuatku lupa.
Salah satu hal yang membuatku lupa pada sekolah adalah sebuah benda yang menyangkut di pohon delima di halaman depan rumah nenek. Pohon delima itu persis di hadapan teras, di sebelah jalan setapak.
Benda di antara cabang delima itu berpendar, saat itu belum kumengerti kalau pendar itu muncul karena ia memantulkan cahaya matahari sehingga meninggalkan berbagai warna. Kutatapi itu benda lama-lama. Aku tersihir. Saat itu aku belum memiliki konsep soal waktu dalam bentuk jam, menit dan detik. Yang kutahu, aku begitu lama memandangi benda yang memantulkan cahaya itu, sampai-sampai kepalaku terasa berat ketika kutolehkan ke arah lain.
Pada benda itu tersangkut bulir air. Mungkin sisa embun tadi subuh atau tetes air dari selang penyiram tanaman milik nenek. Tetapi benda yang tersangkut itu begitu sepi, sendirian, maka kuputuskan mulai saat ini benda tanpa pemilik itu adalah milikku. Benda tersebut adalah satu-satunya milikku yang paling berharga setelah baju terusan berwarna biru dengan kerah pelaut dan berenda putih pada ujung-ujungnya.
Sore itu, saat ayah sudah di rumah, kutarik jarinya yang sebesar tanganku. Aku harus menunjukan satu-satunya bendaku yang paling berharga itu. Kugeret ia ke teras depan rumah nenek. Ajaib! Benda di pohon delima itu tidak lagi berkilau, tetapi redup diantara bayang pohon delima. Dengan bangga aku mempersembahkan benda yang tersangkut pada pohon delima itu sebagai milikku.
Namun ayah menghardikku, "Jangan dipegang, kotor! Anak perempuan kok mainan laba-laba, nanti kamu digigit loh...".
Baiklah, jadi benda itu bernama sarang laba-laba. Tapi mana laba-labanya? Apa itu laba-laba? Kenapa perempuan tidak boleh main laba-laba? Kalau perempuan itu ibu, dan ibu tidak boleh main laba-laba, apa ayah boleh main laba-laba? Kalau ayah boleh, apa berarti aku bisa melihat ayah bermain laba-laba?
Tunggu dulu, kalau yang bernama laba-laba adalah pemilik benda bernama sarang laba-laba, maka aku harus segera memindahkan si sarang laba-laba agar tak keburu dibawa pergi si laba-laba.
Saat ayah berlalu, buru-buru kugapai sarang itu.
Aku terkesiap, kaget, terdiam. Sarang itu lengket rupanya, menempel di telapak tangan dan jemari. Tak bisa kupegang seperti kertas gambar dan crayonku. Tak bisa kusentuh seperti boneka pandaku.
Kutarik benda yang menempel di tangan kanan ku itu menggunakan tangan kiri. Tetapi dia menempel di tangan kiriku juga. Kutarik begitu panjang, aku berjalan mundur, seperti tak akan selesai, akhirnya benda bening itu putus dari sarang utamanya, alih-alih lepas dari kedua tanganku.
Keringat mulai menetes. Ini pergulatan terberatku di akhir hari. Aku berdiri, memandangi kesepuluh jemari, otakku yang terbatas berpikir keras, bagaimana agar ia lepas.
Lalu, kutepuk-tepuk kedua tangan. Seperti saat ibu memukul nyamuk yang ber-nguing-nguing di atas rambut keritingku. Kedua telapak tanganku sudah memerah, tapi lelaku itu tak kunjung berbuah. Sarang masih bersetia pada kesepuluh jemari.
Kutempelkan kedua tangan di tiang teras rumah nenek, lalu kugeret dari atas ke bawah. Tapi, apa daya, sarang masih menempel di sana.
Lalu aku duduk dan mulai menangis. Tangis putus asa. Mungkin rasa putus asa pertamaku. Tapi mungkin juga tidak. Aku tak ingat kapan aku putus asa pertama kali. Bisa saja saat berusia 4 bulan aku sudah merasa putus asa, yaitu saat menangis karena popokku basah tetapi ibu malah datang dengan membawa susu. Aku sudah tidak ingat, tetapi siapa tahu.
Dari tangis yang terisak, tangisku menjadi-jadi. Semakin berisik, sambil memukul-mukul tangan ke lantai. Tak ada hasil yang kugapai.
Akhirnya kupanggil-panggil Ibu. Dia pikir aku terjatuh atau diganggu anak tetangga. Sampai akhirnya kutunjukkan kesepuluh jemari beserta telapak tanganku yang penuh dengan benda lengket bernama sarang laba-laba, nama yang baru kupelajari beberapa saat sebelumnya. Nama yang terdengar bagus tetapi berdampak pada keputusasaanku kala itu.
Ibu cuma tersenyum, dia mengajakku ke kamar mandi, mencuci tangan dengan air, lalu diberi sabun, dan di lap dengan kain kering. Hilanglah benda lengket itu dalam sekejap.
Wow, menjadi orang besar itu keren sekali! Bisa memutuskan perkara besar dalam sekejap mata. Obsesiku menjadi besar terus membesar. Apalagi kalau aku bersekolah, aku pasti sudah tahu bagaimana cara menghilangkan benda lengket itu.
Kalau aku bersekolah, mungkin aku juga akan tahu kalau benda lengket itu sebaiknya tidak dipegang. Supaya tetap bisa menjadi milikku, kupandangi setiap pagi saat matahari masih hangat di pipi. Maka kuputuskan, aku akan kembali merengek meminta sekolah. Siapa tahu aku diizinkan ikut pergi ke sekolah bersama anak tetangga.
Namun itu akan kulakukan besok saja. Sekarang Ibu sudah mengganti pakaianku dengan yang lebih bersih. Aku juga sudah minum susu. Ayah sedang menonton televisi yang acaranya soal bapak-bapak yang terlalu sering memotong pita di sini-sana. Sehabis ayah menonton, aku biasanya menonton acara tebak-tebakan. Kemudian ayah akan kembali mengusasi televisi yang kebanyakan bergambar wajah-wajah berambut kuning, atau merah, berkulit putih dan hidung mancung, wajah yang tak pernah kulihat dalam kehidupan nyata, wajah yang tidak ada pada tetangga.
Saat itu aku pikir, hebat sekali orang-orang yang bisa mencari banyak orang, lalu dikecilkan dengan senter pengecil Doraemon, lalu dimasukkan dalam kotak kecil di atas meja ruang tamuku itu. Aku yakin dalam pantat televisiku itu tersimpan si orang-orang kecil.
Sayangnya teoriku itu belum pernah berhasil kubuktikan. Ibu selalu marah-marah kalau aku mengendap ke belakang televisi. Selain kotor, dia bilang aku bisa kesetrum. Sebenarnya aku juga mengendap-endap karena penasaran rasa kesetrum itu sepesti apa. Tetapi ibu selalu mendapatiku, dan mengusirku dari pantat televisi.
Sekarang, aku tak tahu aku sudah mengantuk atau belum. Bayangan televisi muncul dan hilang. Kepalaku ingin diganjal. Aku berjalan ke kamar untuk mengambil bantal, tetapi malam itu aku tak lagi berenergi untuk kembali ke depan televisi, tepat ketika Dede Yusuf membuka kata BOOM.
---bersambung...
baca juga:
bagian pertama: cita-citaku kandas oleh tahi ayam
Biasanya aku berhenti berteriak saat susu terhidang. Kuseruput sedikit demi sedikit. Rasanya tak enak. Tetapi Ibu bilang kalau rajin minum susu akan cepat besar, cepat pintar. Kalau aku cepat besar dan cepat pintar, tentu akan cepat bersekolah. Maka kutenggak susu itu sampai habis, tangan kanan memegang gelas, tangan kiri menjepit lubang hidung, mata tertutup. Yang penting bagaimana caranya memindahkan sesegera mungkin cairan putih itu ke dalam rongga setelah mulutku.
Minum susus dengan cara itu hanya kulakukan ketika ayah tak ada. Kalau ada ayah, aku pasti dimarahi. Menurut ayah tak sopan minum dengan cara begitu apa lagi aku perempuan.
"Jadi kalau aku laki-laki boleh minum seperti itu? Emang laki-laki itu apa?" tanyaku.
Ayah hanya menjelaskan bahwa laki-laki itu ayah dan perempuan itu ibu. Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya, siapa saja, tak boleh minum susu dengan cara begitu. Sayangya pertanyaan-pertanyaan selanjutnya hanya dijawab dengan "nanti juga kamu tahu kalau sudah besar."
Baiklah, aku benar-benar harus cepat besar!
Aku juga berhenti merengek saat lapar. Salah satu hidangan yang paling sering dihidangkan adalah sayur bayam atau kangkung, juga sayur sop. Kata ibu, sayur-sayur itu mengandung zat besi, baik buat kesehatan. Akan tetapi, anak tiga tahun mana yang peduli pada zat besi? Yang aku tahu kangkung sulit dikunyah, bayam rasanya kasar di lidah, dan daging sapi sulit ditelan. Namun ibu bilang, aku tidak akan pintar kalau tidak mau makan itu semua.
Ah, sulit rupanya menjadi pintar dan besar. Padahal kalau tidak pintar dan tidak besar, entah kapan aku bisa berseragam dan punya ibu guru. Kutelan juga itu bayam. Kukunyah, kulumat hingga hancur, agar mudah ditelan. Aku tidak peduli kalau aku makan begitu lama. Orang lain sudah kunyahan ketiga, aku baru menelan yang pertama. Toh ibu tidak pernah menjelaskan hubungan antara kecepatan makan dan menjadi pintar.
Sesudah makan, biasanya aku kembali merengek. Sekolah sekolah, terdengar begitu indah. Aku terus merengek sampai ada hal yang membuatku lupa.
Salah satu hal yang membuatku lupa pada sekolah adalah sebuah benda yang menyangkut di pohon delima di halaman depan rumah nenek. Pohon delima itu persis di hadapan teras, di sebelah jalan setapak.
Benda di antara cabang delima itu berpendar, saat itu belum kumengerti kalau pendar itu muncul karena ia memantulkan cahaya matahari sehingga meninggalkan berbagai warna. Kutatapi itu benda lama-lama. Aku tersihir. Saat itu aku belum memiliki konsep soal waktu dalam bentuk jam, menit dan detik. Yang kutahu, aku begitu lama memandangi benda yang memantulkan cahaya itu, sampai-sampai kepalaku terasa berat ketika kutolehkan ke arah lain.
Pada benda itu tersangkut bulir air. Mungkin sisa embun tadi subuh atau tetes air dari selang penyiram tanaman milik nenek. Tetapi benda yang tersangkut itu begitu sepi, sendirian, maka kuputuskan mulai saat ini benda tanpa pemilik itu adalah milikku. Benda tersebut adalah satu-satunya milikku yang paling berharga setelah baju terusan berwarna biru dengan kerah pelaut dan berenda putih pada ujung-ujungnya.
Sore itu, saat ayah sudah di rumah, kutarik jarinya yang sebesar tanganku. Aku harus menunjukan satu-satunya bendaku yang paling berharga itu. Kugeret ia ke teras depan rumah nenek. Ajaib! Benda di pohon delima itu tidak lagi berkilau, tetapi redup diantara bayang pohon delima. Dengan bangga aku mempersembahkan benda yang tersangkut pada pohon delima itu sebagai milikku.
Namun ayah menghardikku, "Jangan dipegang, kotor! Anak perempuan kok mainan laba-laba, nanti kamu digigit loh...".
Baiklah, jadi benda itu bernama sarang laba-laba. Tapi mana laba-labanya? Apa itu laba-laba? Kenapa perempuan tidak boleh main laba-laba? Kalau perempuan itu ibu, dan ibu tidak boleh main laba-laba, apa ayah boleh main laba-laba? Kalau ayah boleh, apa berarti aku bisa melihat ayah bermain laba-laba?
Tunggu dulu, kalau yang bernama laba-laba adalah pemilik benda bernama sarang laba-laba, maka aku harus segera memindahkan si sarang laba-laba agar tak keburu dibawa pergi si laba-laba.
Saat ayah berlalu, buru-buru kugapai sarang itu.
Aku terkesiap, kaget, terdiam. Sarang itu lengket rupanya, menempel di telapak tangan dan jemari. Tak bisa kupegang seperti kertas gambar dan crayonku. Tak bisa kusentuh seperti boneka pandaku.
Kutarik benda yang menempel di tangan kanan ku itu menggunakan tangan kiri. Tetapi dia menempel di tangan kiriku juga. Kutarik begitu panjang, aku berjalan mundur, seperti tak akan selesai, akhirnya benda bening itu putus dari sarang utamanya, alih-alih lepas dari kedua tanganku.
Keringat mulai menetes. Ini pergulatan terberatku di akhir hari. Aku berdiri, memandangi kesepuluh jemari, otakku yang terbatas berpikir keras, bagaimana agar ia lepas.
Lalu, kutepuk-tepuk kedua tangan. Seperti saat ibu memukul nyamuk yang ber-nguing-nguing di atas rambut keritingku. Kedua telapak tanganku sudah memerah, tapi lelaku itu tak kunjung berbuah. Sarang masih bersetia pada kesepuluh jemari.
Kutempelkan kedua tangan di tiang teras rumah nenek, lalu kugeret dari atas ke bawah. Tapi, apa daya, sarang masih menempel di sana.
Lalu aku duduk dan mulai menangis. Tangis putus asa. Mungkin rasa putus asa pertamaku. Tapi mungkin juga tidak. Aku tak ingat kapan aku putus asa pertama kali. Bisa saja saat berusia 4 bulan aku sudah merasa putus asa, yaitu saat menangis karena popokku basah tetapi ibu malah datang dengan membawa susu. Aku sudah tidak ingat, tetapi siapa tahu.
Dari tangis yang terisak, tangisku menjadi-jadi. Semakin berisik, sambil memukul-mukul tangan ke lantai. Tak ada hasil yang kugapai.
Akhirnya kupanggil-panggil Ibu. Dia pikir aku terjatuh atau diganggu anak tetangga. Sampai akhirnya kutunjukkan kesepuluh jemari beserta telapak tanganku yang penuh dengan benda lengket bernama sarang laba-laba, nama yang baru kupelajari beberapa saat sebelumnya. Nama yang terdengar bagus tetapi berdampak pada keputusasaanku kala itu.
Ibu cuma tersenyum, dia mengajakku ke kamar mandi, mencuci tangan dengan air, lalu diberi sabun, dan di lap dengan kain kering. Hilanglah benda lengket itu dalam sekejap.
Wow, menjadi orang besar itu keren sekali! Bisa memutuskan perkara besar dalam sekejap mata. Obsesiku menjadi besar terus membesar. Apalagi kalau aku bersekolah, aku pasti sudah tahu bagaimana cara menghilangkan benda lengket itu.
Kalau aku bersekolah, mungkin aku juga akan tahu kalau benda lengket itu sebaiknya tidak dipegang. Supaya tetap bisa menjadi milikku, kupandangi setiap pagi saat matahari masih hangat di pipi. Maka kuputuskan, aku akan kembali merengek meminta sekolah. Siapa tahu aku diizinkan ikut pergi ke sekolah bersama anak tetangga.
Namun itu akan kulakukan besok saja. Sekarang Ibu sudah mengganti pakaianku dengan yang lebih bersih. Aku juga sudah minum susu. Ayah sedang menonton televisi yang acaranya soal bapak-bapak yang terlalu sering memotong pita di sini-sana. Sehabis ayah menonton, aku biasanya menonton acara tebak-tebakan. Kemudian ayah akan kembali mengusasi televisi yang kebanyakan bergambar wajah-wajah berambut kuning, atau merah, berkulit putih dan hidung mancung, wajah yang tak pernah kulihat dalam kehidupan nyata, wajah yang tidak ada pada tetangga.
Saat itu aku pikir, hebat sekali orang-orang yang bisa mencari banyak orang, lalu dikecilkan dengan senter pengecil Doraemon, lalu dimasukkan dalam kotak kecil di atas meja ruang tamuku itu. Aku yakin dalam pantat televisiku itu tersimpan si orang-orang kecil.
Sayangnya teoriku itu belum pernah berhasil kubuktikan. Ibu selalu marah-marah kalau aku mengendap ke belakang televisi. Selain kotor, dia bilang aku bisa kesetrum. Sebenarnya aku juga mengendap-endap karena penasaran rasa kesetrum itu sepesti apa. Tetapi ibu selalu mendapatiku, dan mengusirku dari pantat televisi.
Sekarang, aku tak tahu aku sudah mengantuk atau belum. Bayangan televisi muncul dan hilang. Kepalaku ingin diganjal. Aku berjalan ke kamar untuk mengambil bantal, tetapi malam itu aku tak lagi berenergi untuk kembali ke depan televisi, tepat ketika Dede Yusuf membuka kata BOOM.
---bersambung...
baca juga:
bagian pertama: cita-citaku kandas oleh tahi ayam
>>> Namun ayah menghardikku, "Jangan dipegang, kotor! Anak perempuan kok mainan laba-laba, nanti kamu digigit loh...".
ReplyDeletePerbedaan gender sudah kental distempelkan sejak Mbak belom menginjak bangku sekolah TK dan sepertinya sampai saat ini belom mendapatkan jawaban yang memuaskan. :)
Aku baca beberapa penulisan sering berdasar kepada bentuk tanda tanya besar mengenai keinginan pengakuan akan kesetaraan dan keinginan diperlakukan adil.
Namun, jika ada pemikiran yang salah dari satu, dua, tiga orang.
Mohon jangan melakukan generalisasi.
Maaf, sebagai masukan karena pola pendidikan seperti itu (menyebut laki dan perempuan sebagai dasar larangan) tidak ada di lingkungan keluarga saya.
Maaf: Jadi menurut saya, larangan itu yang kemudian tertanam di alam bawah sadar mbak Rika.
Apalagi jika sebagian besar larangan sering menggunakan kata atau atas dasar Laki-laki dan Perempuan.
masmurio
nggak ada sih yg bilang gender sebagai dasar larangan. interpretasi kamu aja.
Delete