Posts

Showing posts from August, 2011

Jakarta dan cinta sebelah hati*

Ada hal-hal kecil soal Jakarta yang membuat saya merasa romantis. Ini semua hanya hal-hal kecil, semacam kebahagian sederhana yang tiba-tiba menyeruak saat tubuh sudah minta dibasuh karena lengket keringat padahal macet masih menghadang, tetapi kita tak lagi kesal, karena hati penuh dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu. Hal-hal kecil ini, begitu kecil dan begitu sederhana. Kita tak pernah tahu dia akan muncul dari mana. Kebahagiaan sederhana ini bisa berasal dari pemain saxophone yang saya temui jika menyebrangi jembatan dukuh atas sebelum jam 8 malam. Agak berlebihan, tetapi begitu segar mendengar saxophone di tengah ingar kemacetan, di tengah gemuruh klakson di bawah sana. Dan tiba-tiba saya jatuh cinta pada imajinasi saya mengenai si pemain saxophone yang menyeruak dalam otak kecil saya. Kebahagiaan sederhana ini adalah mural bercampur vandal di kolong jembatan landmark. Waktu-waktu tertentu mereka dihapus, tetapi kembali muncul di saat kita tak pernah sangka. Entah mural

pekerjaan saya, pekerjaan haram jadah

Sembilan tahun yang lalu, pertama kalinya saya membaca buku karangan T. Taufiqulhadi, seorang wartawan kompas yang meliput di kawasan Timur Tengah. Buku yang saya baca itu berjudul Ironi satu kota tiga tuhan. Buku itu menceritakan potret masyarakat sosial di kota yang telah ada sejak berabad tahun silam, Yerusalem. Bagaimana Taufiqulhadi menampilkan gambaran Yerusalem tanpa sentimen keagamaan membuat saya terbelalak. Apa yang dituliskan di buku tersebut adalah luar biasa bagi saya. Saya, seorang gadis kecil yang mengenakan jilbab hingga menutupi dada, bahkan siku. Yang pada malam hari pergi membawa senter menuju ujung jalan, rumah guru ngaji di kampung, yang mengajarkan cara membaca juz amma dan arab gundul. Saya yang setiap pekan menuju pesantren pekanan, mendengar ceramah agama di ruang dengan kursi, mimbar dan lorong yang mirip gereja. Saya yang setiap liburan sekolah menginap di pesantren yang mengajarkan perbedaan agama sebagai suatu keharaman, tentu terpukau setengah mati.

curly or not curly

Image
I don't feel sorry to straighten up my hair, but tonight, when i see this picture, i kinda miss my long curly hair. we are same person ;) dan tiba-tiba jadi pengen bahas masalah rambut. Saat pertama kali teman-teman lihat rambut lurus saya, rasanya seperti saya sudah pindah agama saja, banyak kontroversi. Kebanyakan menyayangkan mengapa saya memotong dan meluruskan rambut. Padahal, bagi saya, rambut ya cuma rambut. Lalu, saya yang kebiasaan selalu mikirin berbagai hal yang ga penting, jadi sok-sokan membawa masalah ini ke soal perubahan dan efek kejut dalam hidup. Boris Pasternak bilang surprise is the greatest gift life can grant us. Beberapa orang tidak suka dikejutkan, beberapa orang tidak suka perubahan. Saya? Saya menikmati banyak perubahan drastis dalam hidup saya. Sangat drastis. Salah satunya adalah meluruskan rambut setelah 23 tahun punya gaya khas, a long curly hair :D For ages, Life grant me so many surprises and changes. Kejutan terbesar

warisan jalan menikung*

kubiarkan cahaya ufuk timur merenggutmu, angin yang gelisah rupanya isyarat tuk memilikimu, kabut terasa membakar cahaya, langit begitu pilu, cahayanya ngilu, hanya aku yang menjelma suara. kau mungkin lelah dengan desah udara di jalan menikung itu, yang kini kutempuh tanpa nafasmu merengkuh pundakku. subuh telah tuntas, dengan warna yang tak kan terkelupas. sungguh, jika tak lagi dapat berteduh, di manakah harus kucari atap baru? *teruntuk ayah

hujan

pagi. kelabu. tak ada matahari. dingin. hujan rintik. tak ada yang lebih nikmat dari rasa sakit.

berebut sarang dengan laba-laba (menjadi perempuan, part 2)

Keesokan paginya, siklusku yang lebih tetap dibandingkan membangun rumah (yang mana sudah kuputuskan tidak akan kulakukan lagi) dimulai: merengek, berteriak, menjerit-jerit. Ingin sekolah. Tak mau yang lain. Aku tak mau boneka. Aku tak mau digendong ayah. Aku cuma ingin sekolah. Aku tak mau Ibu tanpa Guru, aku cuma mau Ibu Guru. Biasanya aku berhenti berteriak saat susu terhidang. Kuseruput sedikit demi sedikit. Rasanya tak enak. Tetapi Ibu bilang kalau rajin minum susu akan cepat besar, cepat pintar. Kalau aku cepat besar dan cepat pintar, tentu akan cepat bersekolah. Maka kutenggak susu itu sampai habis, tangan kanan memegang gelas, tangan kiri menjepit lubang hidung, mata tertutup. Yang penting bagaimana caranya memindahkan sesegera mungkin cairan putih itu ke dalam rongga setelah mulutku. Minum susus dengan cara itu hanya kulakukan ketika ayah tak ada. Kalau ada ayah, aku pasti dimarahi. Menurut ayah tak sopan minum dengan cara begitu apa lagi aku perempuan. "Jadi kalau a

hubungan ini seperti kelamin

hubungan ini mengalami banyak hal, bertatap dengan banyak hal mengingat banyak hal, melupakan banyak hal. hubungan ini seperti detak jantung, kita tak lagi ingat bagaimana dulu jantung mulai berdetak, bagimana rasanya detak jantung itu, seperti kita tak lagi ingat bagaimana awalnya kau dan aku menatap malu, bagaimana rasanya tatapan itu. hubungan ini seperti kelamin, tak melulu diingat ada kelamin di sana, namun ada sesuatu di otak dan di jantung yg membuat kelamin itu ada, kadang dicaci kadang disuka. hubungan ini hanya berjalan, terus berjalan, tanpa peduli mengapa harus berjalan, apakah harus terus berjalan? sudah jauh berjalan, aku ingin terus berjalan. haruskah terus berjalan?

Transformers 1 Vs Transformers 3, direbut sipil tapi kembali ke militer

Image
Saya adalah penonton tak setia Transformers: sangat terlambat menonton yang pertama, tak menonton yang kedua, dan jadi salah satu gelombang pertama yang menonton di Indonesia dalam film yang ketiga. Film pertama saya nilai sebagai film militer yang tidak menonjolkan superioritas militer atas sipil (yang tak bersenjata), walaupun di scene-scene awal, dan banyak scene di dalamnya menunjukan kemiliteran, dinas-dinas rahasia, pertempuran, serta wilayah-wilayah khusus milik militer the states. Konteksnya, film pertama diturunkan sekitar pertengahan 2007, saat perang Irak dan Afghanistan tak kunjung berkesudahan dan masyarakat mulai mempertanyakan anggaran militer yang begitu besar. Masyarakat muak. (Walau demikian, agaknya film ini tetep jadi sarana promosi kendaraan perang militer AS. hehe... Seolah mau bilang, "ini loh, kita punya peralatan sebegini canggih, siapa berani lawan?"). Jika dalam film janur kuning, enam djam di joga, dan serangan fajar--atau mungkin ada film fi

Cita-citaku kandas oleh tahi ayam (Menjadi Perempuan, part 1)

Dulu, dulu sekali. Mungkin 10, 15, 20 tahun lalu, aku benci terlahir menjadi perempuan. Memang tidak ada yang terlahir sebagai perempuan, atau sebagai laki-laki. Semuanya adalah proses menjadi. Akan tetapi ada satu hal yang tak boleh dilupa, ekspektasi masyarakat dan lingkungan juga menjadi entitas penting yang menumbuhkan kita, entah menjadi perempuan maupun menjadi laki-laki. Dan aku pernah benci sekali menjadi perempuan. Aku bahkan juga pernah benci sekali menjadi perempuan kecil. Saat berusia empat atau mungkin tiga, tetangga dan para sepupu yang lebih tua mulai berseragam. Putih-merah, gagah betul. Pagi-pagi mereka berangkat, pulang kala matahari di atas kepala. Beberapa baru kembali saat matahari mulai membuat bayangan tubuhku menjadi panjang. Itu 20 tahun lalu. Aku juga ingin berseragam, diajari menggambar, berbaris, bermain clay, atau sekadar cara makan yang benar. Tapi 20 tahun lalu, usiaku belum lagi cukup untuk masuk TK kecil. Sehebat apapun aku merengek, tak juga b

me and my friend come from asteroid type C

Image
Saya punya seorang teman yang menurut saya sangat berkarakter. Sayangnya, menjadi perempuan berkarakter di sebuah lingkungan patriarki sering kali merugikan ketimbang menguntungkan. Bukannya saya ingin yang satu lebih menguntungkan dari pada lainnya, tapi sebaiknya kalau perlakuan yang diterima sama saja. Patriarkisme bukan cuma soal hal-hal besar bahwa perempuan boleh bersekolah atau bekerja. Saya sedang bicara mengenai kesetaraan. Memangnya kenapa kalau perempuan menjadi macho dan laki-laki menjadi lemah gemulai? itu yang sedang saya bicarakan. Banyak ketidakadilan di lingkungan saya mengenai hal ini. Seolah lelaki yang lembut dan perempuan yang keras adalah suatu kesalahan. Akan tetapi hal itu ga akan dibahas di sini. Gadis Arivia saja pasti butuh satu buku untuk menjelaskan fenomena ini. Apalagi saya yang cuma kuli tinta, pasti akan mengundang banyak hujatan. Saya sedang tidak bertenaga dan tidak punya waktu luang untuk menerima hujatan. Lagi pula kalau saya punya energi lebi

meraji rindu berarus pendek

Aku rindu merindu. Ada banyak hal untuk dirindu sebenarnya. 7 tahun belakangan, ibu tak lagi tinggal serumah denganku, tak sekota, bahkan tak sepulau. Otomatis 7 tahun belakangan pun tak tinggal dengan adik-adikku yang 4 orang itu. Kalau adikku yang paling kecil saat ini baru berusia 10 tahun, maka lebih dari separuh hidupnya, dia tak mengenalku. Pun 11 tahun belakangan hanya sesekali kutemui ayah. Tidak hanya 11 tahun. Selama tahun-tahun kami di Jakarta pun, ayah hanya kukenal sebagai kelebat pria senja. Lebih dari itu, ayah juga pernah tinggal di Papua selama 2 atau tiga tahun saat aku masih berseragam merah. Maka sebagian besar hidup, tak juga kukenal ayah. Ayah adalah pria yang memeriksa semua pekerjaan rumah, matematika atau bahasa Indonesia. Hanya tiga pelajaran yang tak pernah ia periksa: bahasa Arab, Bahasa Sunda dan Bahasa Inggris. Ayah adalah pria gagah yang mengambil rapot di sekolah. Pria keras yang tak segan memukul dan menyundut wajah anaknya dengan rokok. Pria yan