Rp1,5 juta dan mantan mahasiswa yang belajar bekerja

Pagi ini saya diundang untuk menghadiri sebuah diskusi mengenai perkembangan dunia perbankan Indonesia yang diselenggarakan oleh Marketing Research Indonesia atas pesanan sebuah bank asal Belanda yang berfokus pada pengembangan Agribisnis. Di undangan tertera acara akan dimulai pada pukul 9 pagi. Saya orang yang cukup tepat waktu, kecuali benar-benar ada alasan yang mendesak.

Singkat cerita saya sudah sampai pukul 9 pagi. Tetapi kemudian beberapa kali saya diberi informasi membingungkan antara dimulai pukul 10 pagi, atau 10.30. Alih-alih memberi penjelasan, si empunya acara malah memberi saya penganan ringan seolah penganan dapat menjelaskan segalanya.

Pukul 10.30 saya mulai resah. Setelah berdiskusi dengan redaktur, akhirnya saya memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

Persoalan timbul ketika saya pamit pulang (tidak sopan kalau saya pergi begitu saja), penyelenggara acara meminta saya menerima sebuah amplop berisi uang, sebagai permintaan maaf sudah mengecewakan, juga sebagai alasan bahwa itu sudah prosedur mereka. Butuh waktu 10 menit untuk menjelaskan bahwa prosedur saya juga menolak segala bentuk gratifikasi.

Saya tidak tersinggung pada petugas yang memberi saya gratifikasi, tetapi saya tersinggung pada pola pikir mereka bahwa mereka bisa membeli waktu saya.

Satu jam saya menunggu, mereka menyodorkan penganan ringan, 2 jam saya menunggu, lalu mereka menyodorkan amplop.

Manusia bisa mengerahkan seluruh waktunya untuk mendapatkan uang, tetapi tak satu orang pun bisa mengerahkan seluruh uangnya untuk mendapatkan tambahan waktu bahkan satu detik saja agar hidup lebih lama.

Tentu itu bukan pertama kalinya saya harus berjibaku mengembalikan gratifikasi sesopan mungkin.

Gratifikasi yang pertama kali saya terima berasal dari sebuah perusahaan ritel, senilai Rp1.500.000. Saya tidak salah menulis nol. Dan itu jumlah yang cukup banyak bagi wartawan bau kencur dan baru saja lulus dari dunia permahasiswaan.

Selanjutnya setidaknya seminggu dua kali saya harus menolak tawaran-tawaran yang sering kali memaksa dan ribet itu. Alasan public relations yang memberi amplop superbanyak:

1. Sekadar uang transport.
2. Tanda pertemanan.
3. "Saya kan ga ngasih apa-apa mba" (sambil kedip mata seolah bilang just between us)
4. Prosedur perusahaan.
5. "Duh mba, kalau mba ga ambil, mba menyusahkan saya, nanti saya kena marah"
6. (tiba-tiba sudah ada di dalam goody bag)
7. (Tiba-tiba muncul dalam map press release)
8. (Manggil ke kamar mandi dan tiba-tiba nyuruh tanda tangan)
9. Menyodorkan "absen" tapi duitnya disimpan sendiri sama PRnya.

Sudahlah, saya rasa cukup metode pemberiannya.

Sayangnya, dalam banyak catatan yang saya temukan melulu wartawan yang dicap haus gratifikasi, tak satu pun saya temukan membahas pihak-pihak perusahaan atau humas PNS yang kerjaannya maksa memberi gratifikasi.

Pernah dengar kan istilah, pencuri juga tercipta karena ada kesempatan.
Wartawan yang sering meminta gratifikasi pun salah satunya tercipta karena ada kesempatan.

Saya tidak pernah benci dengan wartawan bodrek, saya punya nilai yang saya usung, mereka punya nilai mereka. Saya tak bisa bilang saya lebih benar dari mereka. Toh nilai adalah seperangkat aturan subjektif yang saya atau mereka buat sendiri. Sebagai manusia, bersikaplah layaknya manusia dengan tidak menjudge.

Maksud saya, saya percaya yang paling baik dan benar bagi saya adalah tidak mengambil amplop apalagi yang bisa mempengaruhi penulisan berita. Akan tetapi, apa yang saya peraya benar dan baik, belum tentu benar dan baik bagi orang lain. What is true is constantly change. Saya melihat persoalan mengambil atau tidak mengambil adalah soal pribadi. Dan saya tidak mau mencampuri pilihan masing-masing orang.

Saya hanya tidak suka kalau saling mengganggu pekerjaan masing-masing.

Nah, bagaimana bisa perusahaan berharap tidak ada bodrek kalau dalam kenyataannya masih banyak perusahaan yang maksa ngasih berbagai gratifikasi?

Saya orang yang keras hati, kalau saya bilang tidak ya tidak, dan saya tidak peduli kalau PR officer-nya kena marah cuma karena soal ga berhasil meloloskan amplop ke tangan saya. Karena kalau mereka tidak kena masalah, berarti saya yang kena masalah.

Bagaimana dengan perusahaan tukang suap itu? Kenapa cuma wartawan yang melulu dicap jelek?

Comments

  1. pertamax kah?

    hai jeng sueb,.. tanya dong.
    kecenderungannya PR ygngasih amplop itu dari perusahaan seperti apa? level bisnisnya? dan tingkat pengetahuan PR-nya?

    ReplyDelete
  2. Semua jenis perusahaan yang aku liput, dengan level bisnis yang besar, bahkan salah satu yang terbesar di bidangnya. aku ga tau tingkat pengetahuan PR-nya mam. tapi kalau masih ngamplopi, gampangnya berarti mereka ga paham konsep PR yg "bener" :D

    ReplyDelete
  3. "Tingkat Pengetahuan PR"-nya Mam, bisa diketahui setelah data kuesioner yg menkuantifikasinya terkumpul. Just kidding, but that phrase really bring flashback of research realm back in campus :)

    ReplyDelete
  4. padahal aku masih yakin.. di kampus para PR itu gak diajarin ngasih amplop, lho..

    ReplyDelete
  5. Sejauh saya pernah mengikuti sedikit press confrence perusahaan di Jogja, maksudnya pun hanya numpang setor wajah. Selalu terselip sesuai dengan metode-metode seperti itu.
    Nah tambahan lagi, cerita di Samarinda lebih menarik. Tinggal sms nomor rekening aja. hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Ustad yang berfikir dengan penisnya

Takut