Jogja (bukan) milik saya seorang
Pagi ini, secara menakjubkan, tiba-tiba saya merasakan kerinduan yang membuncah pada Jogjakarta. Yang saat itu terpikirkan adalah mengirimkan sebaris pesan singkat pada seorang teman, yang meski juga bukan berasal dari Jogja, tetapi kami menghabiskan tahun-tahun yang tak tergantikan di sana: “mas Kul, kangen jgj :D”. Serta merta teman menjawab: “haduh, klo ak dah lama kngn jgja.ga tau kpn bs k sn.”
Tiba-tiba saya merasa geli, membayangkan ada puluhan, mungkin ratusan, atau ribuan orang lain di Jakarta, sebagian saya kenal, sebagian lagi asing, sisanya mungkin akan bertemu di ruang dan waktu yang tak saya tahu. Lalu dari keseluruhan orang-orang itu, kami, terikat pada seuntai benang merah yang sama: kerinduan pada Jogja.
Menurut teman yang membalas pesan singkat itu, rasanya seperti berangkat merantau dari kampung halaman yang sama–meski saya dan teman tidaklah berasal dari jogja, juga tidak pandai berbahasa Jawa.
Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kampung halaman di Jogja. Terlebih bagi saya yang nomaden, tak memiliki kampung halaman. Rasanya seperti menemukan rumah yang belum pernah ada sebelumnya.
Sayangnya kerinduan pada Jogja sering kali mengantarkan pada keegoisan. Seringkali saya melihat Jogja sebagai cafe kecil yang saya temukan bersama beberapa manusia satu ide, satu pikiran. Lalu saya memutuskan untuk membangun “sarang”, membangun sudut di cafe kecil tersebut.
Pengunjungnya tetap, orang-orang yang sama. Beberapa tak pernah bertegur sapa, beberapa mungkin berlawanan ide-idenya. Tapi itu adalah tetap kafe kecil kami. Dengan pengunjung yang tetap, orang-orang yang sama, meski tak bertegur sapa.
Lalu tahun-tahun adalah energi paling garang untuk mengubah segala-galanya, tanpa garansi untuk kembali. Tahun-tahun itu jualah yang mengubah kafe kecil saya. Sarang saya.
Jogja, si kafe kecil, tak lagi kecil. Pengunjung ramai berduyun-duyung. Mengganggu sarang yang telah saya bangun. Lalu saya menyumpah pada Jogja yang berubah. Seolah Jogja hanya milik saya seorang.
Maka saya malu. Kafe kecil itu bukanlah milik saya. Setiap orang berhak datang dengan segala gemerlapnya, mengubah kafe kecil saya menjadi glamor, membangun sarangnya masing-masing.
Biarlah Jogja berubah. Mungkin teman-teman yang berangkat dari kafe kecil itu pun telah berubah. Namun kami selalu memiliki kenangan yang sama. Pada Jogja, pada tiap sudutnya, pada sarang yang masing-masing kami bangun, demi waktu-waktu yang tak tergantikan itu.
Tiba-tiba saya merasa geli, membayangkan ada puluhan, mungkin ratusan, atau ribuan orang lain di Jakarta, sebagian saya kenal, sebagian lagi asing, sisanya mungkin akan bertemu di ruang dan waktu yang tak saya tahu. Lalu dari keseluruhan orang-orang itu, kami, terikat pada seuntai benang merah yang sama: kerinduan pada Jogja.
Menurut teman yang membalas pesan singkat itu, rasanya seperti berangkat merantau dari kampung halaman yang sama–meski saya dan teman tidaklah berasal dari jogja, juga tidak pandai berbahasa Jawa.
Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kampung halaman di Jogja. Terlebih bagi saya yang nomaden, tak memiliki kampung halaman. Rasanya seperti menemukan rumah yang belum pernah ada sebelumnya.
Sayangnya kerinduan pada Jogja sering kali mengantarkan pada keegoisan. Seringkali saya melihat Jogja sebagai cafe kecil yang saya temukan bersama beberapa manusia satu ide, satu pikiran. Lalu saya memutuskan untuk membangun “sarang”, membangun sudut di cafe kecil tersebut.
Pengunjungnya tetap, orang-orang yang sama. Beberapa tak pernah bertegur sapa, beberapa mungkin berlawanan ide-idenya. Tapi itu adalah tetap kafe kecil kami. Dengan pengunjung yang tetap, orang-orang yang sama, meski tak bertegur sapa.
Lalu tahun-tahun adalah energi paling garang untuk mengubah segala-galanya, tanpa garansi untuk kembali. Tahun-tahun itu jualah yang mengubah kafe kecil saya. Sarang saya.
Jogja, si kafe kecil, tak lagi kecil. Pengunjung ramai berduyun-duyung. Mengganggu sarang yang telah saya bangun. Lalu saya menyumpah pada Jogja yang berubah. Seolah Jogja hanya milik saya seorang.
Maka saya malu. Kafe kecil itu bukanlah milik saya. Setiap orang berhak datang dengan segala gemerlapnya, mengubah kafe kecil saya menjadi glamor, membangun sarangnya masing-masing.
Biarlah Jogja berubah. Mungkin teman-teman yang berangkat dari kafe kecil itu pun telah berubah. Namun kami selalu memiliki kenangan yang sama. Pada Jogja, pada tiap sudutnya, pada sarang yang masing-masing kami bangun, demi waktu-waktu yang tak tergantikan itu.
ak baru baca ini sekarang.. rasanya trus bener2 jadi kangen rumah ak. 3 minggu di singapur itu FUCK!!!!!
ReplyDelete