Musikalisasi Laskar Pelangi dan kami yang merayakan hidup
Saya pikir puncak dari sebuah pertunjukan adalah saat tirai ditutup, yang kemudian dibuka kembali guna memberi kesempatan pada para pendukung untuk berterima kasih kepada penonton, dan memberi kesempatan para penonton untuk mengapresiasi mereka.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi laskar pelangi, dengan berbagai versinya: novel, film, drama musikal.
Mau dikemas bagaimanapun, puncak cerita bagi saya adalah adegan perginya cemara angin: Lintang.
Saya tidak mau meperdebatkan apakah lintang adalah tokoh fiksi atau nyata. Tak penting apakah dia nyata atau tidak. Lintang sangat menginspirasi. Kegigihannya bersepeda 8 km, dan keikhlasannya meninggalkan bangku sekolah untuk menafkahi adik-adiknya membuat saya malu sudah melakukan kegiatan menye-menye saat ayah meninggal. Padahal ayah saya meninggal ketika saya sudah 20 tahun dan hampir lulus kuliah. Tak ada apa-apanya dibanding Lintang.
Lintang adalah pelajaran berharga buat siapapun. Seberapa gigihnya kita mencoba, yang terbaik adalah apa yang akhirnya terjadi, bukan apa yang kita usahakan untuk terjadi.
Dalam pertunjukan musikalnya, adegan tersebut menjadi semakin nyata. Tentu bukan karena dinyanyikan. Melainkan karena aura dari panggung di depan saya. Gerakan, nyanyian, musik, dan udara yang melingkar di antaranya.
Seolah Lintang adalah tetangga saya. Lintang adalah teman saya di kampung. Lintang sedang kesusahan, ironisnya saya tak bisa berbuat apapun selain meratap. Seolah saya menunggu Lintang berhari-hari di sekolah, tapi si Cemara Angin tak jua tiba. Seolah saya adalah Lintang itu sendiri, menanti ayah yang tak mungkin pulang. Lintang yang harus mengikhlaskan mimpinya. Lintang yang tak punya sanak saudara dan bertanggung jawab atas kedua adiknya.
"Ayah
Dimana kau
Lama ku menunggu
Betapa ku rindukan
Kehadiranmu
Kau selalu ada untukku
Kau selalu
Yakini diriku
Tak ada satupun
Yang perlu kutakuti
Tapi
Dimana kau kini berada
Berhari-hari ku menanti
Betapa kuberharap
Kau baik-baik saja
Ayah kau dimana"
(Penggalan lirik menanti ayah menanti lintang)
Ini adalah adegan paling mengharukan, yang berbuah klimaks pamitnya lintang dari sekolah. Membuat saya merasa luar biasa beruntung, saat ayah meninggal, saya tak harus berhenti kuliah, adik-adik tak harus putus sekolah.
Saat terhanyut dalam adegan ini, tak percaya rasanya kalau beberapa menit sebelum adegan mengharu biru panggung yang sama menggubah adegan konyol jari-jari bidadari. Pengubahan setting, properti, pembangunan suasana, sangat memanjakan mata. Warna-warna cerah bercampur warna tanah, savana berganti karang, sekolah miring bergantu kemegahan SD PN Timah. Rumah, masjid, pabrik semuanya datang dan pergi, muncul dari atas, samping kiri-kanan, tanpa mengganggu.
Saya memang tak sering menonton pertunjukan sejenis, baru tiga kali saya menonton daram muskial: Operet Bobo Bobumba, Onrop! dan Laskar Pelangi ini. Tak bisa dibandingkan, semua punya kelebihan masing-masing. Akan tetapi, setting laskar pelangi ini paling ramai, berdesak tanpa membuat sesak, datang dan pergi tanpa membuat penonton merasa janggal.
Termasuk kedatangan dan kepergian kuli-kuli dan tariannya yang luar biasa. Jujur, percakapan laskar pelangi tak banyak menunjukan kemelayuan. Setiap adegan kesepuluh laskar pelangi, saya tak bisa melepaskan perasaan bahwa mereka adalah anak Jakarta yang dipaksa berbicara seperti Upin-Ipin, dan tidak berhasil.
Namun kuli-kuli beserta masyarakat sekitar berhasil membawa kembali suasana Sumatera yang hilang melalui tariannya.
Saya tak banyak mengerti tari, tetapi ada gerakan tari Tanggai di sana, tarian khas Palembang, Ibu kota provinsi Belitong sebelum dia melepaskan diri dan menajdi provinsi Bangka-Belitong. Selain itu, ada juga gerakan mirip tari piring dan tari saman di sana. Serta gerakan gagah para kuli yang mengingatkan saya pada gaya khas orang Sumatera.
Belum lagi tarian saat kematian Pak Harfan. Di beberapa daerah di Sumatera Selatan, tetangga memang berdatangan dengan membawa beras. Hal tersebut masih berlanjut hingga saat ini. Meski beberapa mulai digantikan oleh pemberian uang. Tarian yang menampilkan kesenduan dan gemerincing beras ini bikin merinding (atau mengantuk kalau ga konsen).
Tarian daerah itu, berbaur dengan tari Balet yang dibawakan A Ling, juga gerakan kontemporer Kucai. Meski power anak-anak Laskar Pelangi belum seciamik para pemeran dewasa (beberapa lirik tak terdengar jelas) tetapi hal tersebut tertutupi oleh mimik dan gerak tubuh mereka, terutama Kucai dan Mahar, yang menggelitik. dan Ikal, seperti halnya di film, agak kalah pamor dibandingkan Lintang dan Mahar, plus Kucai di drama musikal ini.
Lalu tirai ditutup, muncul pemain satu persatu, semakin lama semakin banyak penonton yang memberi standing applause. Saya merinding dibuatnya. Merinding karena kagum, saya adalah pecinta pertunjukan teater, termasuk segala turunannya. Saya selalu merinding melihat kepiawaian meramu kata-gerak-suara menjadi satu.
Tepuk tangan kian riuh. Dan kami merayakan hidup.
![]() |
Laskar Pelangi |
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi laskar pelangi, dengan berbagai versinya: novel, film, drama musikal.
Mau dikemas bagaimanapun, puncak cerita bagi saya adalah adegan perginya cemara angin: Lintang.
Saya tidak mau meperdebatkan apakah lintang adalah tokoh fiksi atau nyata. Tak penting apakah dia nyata atau tidak. Lintang sangat menginspirasi. Kegigihannya bersepeda 8 km, dan keikhlasannya meninggalkan bangku sekolah untuk menafkahi adik-adiknya membuat saya malu sudah melakukan kegiatan menye-menye saat ayah meninggal. Padahal ayah saya meninggal ketika saya sudah 20 tahun dan hampir lulus kuliah. Tak ada apa-apanya dibanding Lintang.
Lintang adalah pelajaran berharga buat siapapun. Seberapa gigihnya kita mencoba, yang terbaik adalah apa yang akhirnya terjadi, bukan apa yang kita usahakan untuk terjadi.
Dalam pertunjukan musikalnya, adegan tersebut menjadi semakin nyata. Tentu bukan karena dinyanyikan. Melainkan karena aura dari panggung di depan saya. Gerakan, nyanyian, musik, dan udara yang melingkar di antaranya.
Seolah Lintang adalah tetangga saya. Lintang adalah teman saya di kampung. Lintang sedang kesusahan, ironisnya saya tak bisa berbuat apapun selain meratap. Seolah saya menunggu Lintang berhari-hari di sekolah, tapi si Cemara Angin tak jua tiba. Seolah saya adalah Lintang itu sendiri, menanti ayah yang tak mungkin pulang. Lintang yang harus mengikhlaskan mimpinya. Lintang yang tak punya sanak saudara dan bertanggung jawab atas kedua adiknya.
"Ayah
Dimana kau
Lama ku menunggu
Betapa ku rindukan
![]() |
menanti ayah, menanti lintang |
Kau selalu ada untukku
Kau selalu
Yakini diriku
Tak ada satupun
Yang perlu kutakuti
Tapi
Dimana kau kini berada
Berhari-hari ku menanti
Betapa kuberharap
Kau baik-baik saja
Ayah kau dimana"
(Penggalan lirik menanti ayah menanti lintang)
Ini adalah adegan paling mengharukan, yang berbuah klimaks pamitnya lintang dari sekolah. Membuat saya merasa luar biasa beruntung, saat ayah meninggal, saya tak harus berhenti kuliah, adik-adik tak harus putus sekolah.
Saat terhanyut dalam adegan ini, tak percaya rasanya kalau beberapa menit sebelum adegan mengharu biru panggung yang sama menggubah adegan konyol jari-jari bidadari. Pengubahan setting, properti, pembangunan suasana, sangat memanjakan mata. Warna-warna cerah bercampur warna tanah, savana berganti karang, sekolah miring bergantu kemegahan SD PN Timah. Rumah, masjid, pabrik semuanya datang dan pergi, muncul dari atas, samping kiri-kanan, tanpa mengganggu.
![]() |
hujan di atas panggung |
Termasuk kedatangan dan kepergian kuli-kuli dan tariannya yang luar biasa. Jujur, percakapan laskar pelangi tak banyak menunjukan kemelayuan. Setiap adegan kesepuluh laskar pelangi, saya tak bisa melepaskan perasaan bahwa mereka adalah anak Jakarta yang dipaksa berbicara seperti Upin-Ipin, dan tidak berhasil.
Namun kuli-kuli beserta masyarakat sekitar berhasil membawa kembali suasana Sumatera yang hilang melalui tariannya.
![]() |
kuli-kuli brilian |
Saya tak banyak mengerti tari, tetapi ada gerakan tari Tanggai di sana, tarian khas Palembang, Ibu kota provinsi Belitong sebelum dia melepaskan diri dan menajdi provinsi Bangka-Belitong. Selain itu, ada juga gerakan mirip tari piring dan tari saman di sana. Serta gerakan gagah para kuli yang mengingatkan saya pada gaya khas orang Sumatera.
Belum lagi tarian saat kematian Pak Harfan. Di beberapa daerah di Sumatera Selatan, tetangga memang berdatangan dengan membawa beras. Hal tersebut masih berlanjut hingga saat ini. Meski beberapa mulai digantikan oleh pemberian uang. Tarian yang menampilkan kesenduan dan gemerincing beras ini bikin merinding (atau mengantuk kalau ga konsen).
Tarian daerah itu, berbaur dengan tari Balet yang dibawakan A Ling, juga gerakan kontemporer Kucai. Meski power anak-anak Laskar Pelangi belum seciamik para pemeran dewasa (beberapa lirik tak terdengar jelas) tetapi hal tersebut tertutupi oleh mimik dan gerak tubuh mereka, terutama Kucai dan Mahar, yang menggelitik. dan Ikal, seperti halnya di film, agak kalah pamor dibandingkan Lintang dan Mahar, plus Kucai di drama musikal ini.
Lalu tirai ditutup, muncul pemain satu persatu, semakin lama semakin banyak penonton yang memberi standing applause. Saya merinding dibuatnya. Merinding karena kagum, saya adalah pecinta pertunjukan teater, termasuk segala turunannya. Saya selalu merinding melihat kepiawaian meramu kata-gerak-suara menjadi satu.
Tepuk tangan kian riuh. Dan kami merayakan hidup.
Jeng, 'Penggalan lirik menanti ayah menanti lintang' untukmu
ReplyDelete