Catatan harian si Boy









Film dibuka dengan adegan balapan paling seru yang pernah saya lihat di film Indonesia. Setting tempat yang mengambil lokasi bundaran hotel Indonesia dan fly over menuju Rasuna Said, memberi kedekatan tersendiri. Dan bagaimana Satrio tidak lolos dari kejaran polisi juga membuat film ini menjadi lebih nyata.

Adegan balapan ini, meski tak sekeren fast and furious, tetap membuat adrenalin meningkat.

Ga cuma adegan balapan di Thamrin, beberapa adegan "jagoan" lain juga bikin menahan nafas, mulai dari adegan cegat-cegatan di jalan raya, sampe tonjok-tonjokan di bawah hujan.

Kalau sudah begitu, maka lelucon adalah pemecah ketegangan yang paling juara. Hal ini diramu jadi satu dan tak lupa tambahkan drama percintaan anak muda.

Candaan segar sudah dimulai sejak awal, berlanjut ke penjara, bahkan hingga film selesai. Meski menghadirkan tokoh lelaki gemulai di dalamnya, Putrama Tuta tidak membuat penonton menertawai tokoh tersebut, melainkan tertawa bersama si tokoh. Memang beberapa adegan membuat kita menertawai tingkah Herry, tetapi terasa lebih wajar dan tidak melulu soal kegemulaiannya.

Percakapan yang segar dan cerdas menunjukan bahwa salah satu kekuatan film ini adalah dialognya. Meski beberapa kali nampak nyeleneh dan agak menjurus soal sex, tetapi tidak menghadirkan kepornoan. Justru maknanya lebih dalam dari pada sekadar omong jorok maupun lelucon.

Catatan harian si Boy ini sebenarnya biasa saja secara garis besar cerita. Hollywood abis. Seorang perempuan cantik dengan pacar brengsek. Dalam misinya, perempuan ini bertemu pria lain, lalu happy ending.

Misinya adalah mencari pemilik buku catatan harian yang selalu diganggam Nuke di tengah masa kritisnya. Tasya, anak Nuke, merasa Nuke akan sembuh apabila dia berhasil menemui Boy, si pemilik buku yang juga cinta lama Nuke.

Dalam pencarian Boy, Tasya bertemu Satrio secara tidak sengaja. Tasya yang sudah punya pacar terlibat cinta segitiga dengan Satrio, dan tentu saja Tasya memilih Satrio, sang tokoh utama kita. Seperti dalam film Hollywood umumnya, pacar Tasya adalah seorang anak orang kayak yang spoil abis, jelas dong penonton tidak akan bimbang mau pilih yang mana.

Misi berhasil, Boy menemui Nuke, Tasya mendepak si pria manja dan jatuh ke pelukan Satrio.

Tapi tidak sesederhana itu.

Meski berjudul catatan si Boy, film ini tidak banyak bercerita soal Boy atau catatannya. Catatan milik Boy tersebut hanya tampil sebagai penyebab. Penyebab Satrio dan Tasya terlibat lebih jauh dari pada sekadar dua orang yang tidak sengaja bertemu di penjara. Catatan si Boy juga menjadi pembuat kesimpulan cerita. Yang menurut saya, akhirnya malah menggurui.

Film garapan Putrama Tuta ini mengingatkan saya pada banyak besutan Joko Anwar. Bukan hanya karena ada Joko Anwar sebagai figuran, tetapi gaya bercanda yang khas, segar, dan kegigihan pada detail dan cameo selebriti ternama mengingatkan saya pada Janji Joni atau Quickie Express.

Detail-detail tersebut yang membuat film ini menarik.Bagaimana kehidupan mereka, bagaimana mereka menjalani hidup, bagaimana mereka saling jatuh cinta.

Hal tersebut membuat pencarian Boy tak muncul secara intense, hanya ada beberapa adegan di awal dan di akhir. Mungkin Putrama Tuta ingin menunjukan bahwa mereka tetap memiliki hidup di luar misi mencari buku.

Saking bertele-tele pada detail, satu jam pertama saya sempat bertanya-tanya "ini film kapan klimaksnya."

Detail yang dimaksud adalah bagaimana Nina mencintai Satrio yang menganggap Nina sebagai Sofa: nyaman, tapi tidak untuk dipacari. Bagaimana Herry ditampilkan menolak orientasi seksualnya, meski kita tak pernah tahu apakah betul Herry homoseksual atau sekadar gemulai. Bagaimana bengkel porak poranda akibat kemarahan pacar Tasya karena melihat Tasya berciuman dengan Satrio. Dan bagaimana Satrio membalas dengan memukuli pacar Tasya (maap, ga inget siapa nama pacarnya).

Sayang detail lain, yang menurut saya justru dibutuhkan, malah hilang. Misalnya, awalnya tasya berfikir Satrio seorang bar-bar yang memukuli pacarnya. Belakangan Tasya tahu bahwa sang pacarlah yang mencari gara-gara. Namun saya merasa tidak masuk akal jika kemudian si pacar justru menjadi orang yang membongkar kejadian itu pada Tasya, tanpa penjelasan pula. Kejadian yang harusnya bisa jadi klimaks ini hanya ditunjukan sekilas lewat adegan Tasya menunjuk hidung pacarnya sembari berkata "You're not worthed!"

Saya juga masih terganggu pada detail lain yang seharusnya penting tetapi tertutup oleh detail-detail elegi kehidupan pribadi mereka. Bahwa Tasya dan Satrio hanya sekali berusaha menemui Boy di kantornya, dan tidak lagi berusaha sama sekali tetapi secara kebetulan Satria bisa menemui Boy karena saat dia kembali mencari Boy di tempat yang sama, bertepatan dengan saat Boy keluar dari ruangannya.

Dan secara keberuntungan juga akhirnya Satrio bisa menemui Boy di kantornya, lalu mengejar sampai ke landasan helikopter. Dan keberuntungan lainjuga Boy sampai ke rumah sakit di mana Nuke terbaring kritis dengan begitu cepatnya. Tanpa memberi tahu atau bertanya pada Satria.

Pencarian Boy banyak dilakukan melalui gerilya lewat teman-teman si Boy yang diceritakan di dalam buku. Untuk ukuran orang yang tadinya tinggal di luar negeri (maksud saya Emon dan Boy) mereka terlalu mudah dicari dan ditemui. Secara kebetulan keduanya terkenal.

Dalam film Janji Joni, ini sama mengganggunya dengan time line bahwa Joni hanya punya waktu 30 menit untuk menukar rol film padahal dia berkelana sejak film mulai hingga akhir.

Tetapi bukan berarti film ini jadi jelek.

Perpindahan suasana adegan terasa begitu cepat, dari menggelikan menjadi sedih, berpindah ke adegan laga, lalu kembali jadi drama dihadirkan tanpa membuat saya terasa lelah.

Mengapa tidak lelah? Saya kira karena, seperti yang sudah saya katakan, film ini menghadirkan dialog-dialog cerdas. Saya begitu terbawa tanpa terasa. Dialog cerdas itu menjadi kekuatan film ini, ditambah sinematografi yang manis, jalan cerita yang klise jadi tertambal begitu saja.

Film ini seperti membawa angin segar di tengah pergulatan setan dan bintang porno di layar bioskop kita, meningkatkan rasa percaya diri terhadap film Indonesia.


*Catatan ini dibuat dalam keadaan gelisah karena tidak bisa tidur. Catatan ini sekadar sampingan dari pada guling-guling di kasur. Jadi maap kalau ga bisa memberi gambaran kalo film ini lucu dan worthed untuk ditonton.

-----------------------------------------

Produser: Putrama Tuta
Sutradara: Putrama Tuta
Penulis: Priesnanda Dwisatria, Ilya Sigma
Pemeran: Ario Bayu, Carissa Puteri, Poppy Sovia, Abimana, Paul Foster, Albert Halim, Tara Basro
Tanggal edar: Sabtu, 25 Juni 2011
Warna: Warna

Comments

  1. apa (perlu) dibaca smpe paragraf plg akhir,sy kira saya selesai bc d paragraf pertama :)

    ReplyDelete
  2. itu (sudah) bagus, (daripada) hanya(baca) judul (doang). btw (kok) pake (dikurung-kurung) segala (kenapa) sih :D

    ReplyDelete
  3. kalo ngomen minimal dikasi nama dong dong dong... ini yg komen jam 9.31 mas uyung ya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi