biar rindu tetap di situ

Kematian pertama yang saya temui, saya kira adalah kematian adik laki-laki saya. Ibu tidak pernah bercerita gamblang mengenai kematiannya. Apakah dia mati sesudah dilahirkan ataukah abourtus (baik alami maupun buatan), saya tidak pernah tahu. Dan tidak merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih lanjut.

Kematian adik laki-laki saya itu tak pernah saya pikirkan. Saya bahkan tak pernah ingat bagaimana rasanya. Saya tidak merasa kehilangan dan kesedihan. Saya tak punya memori mengenai adik laki-laki saya selain nisan biru yang tampak begitu kecil di antara nisan lainnya.

Saya juga tak pernah tahu tepatnya dia meninggal ketika saya berusia berapa. Seingat saya di makamnya tertera 18 Pebruari 1988. Sedangkan akta kelahiran saya tercantum 11 November 1987. Saya tak pernah tahu ada apa sebenarnya dengan tanggal-tanggal itu. Ibu pun menolak bercerita lebih lanjut. Ada banyak kemungkinan di sana. Tetapi saya memutuskan untuk tidak peduli. Kebenaran adalah apa yang kita percayai. Saya putuskan percaya saja pada apa yang saya ketahui saat ini.

Namun akhirnya saya mendapat satu-satunya memori mengenai adik laki-laki saya. Adalah adegan kejar mengejar di tangga yang tak kunjung berujung. Saya terus berlari, tangga terus berubah, naik turun dan tetap tak berujung. Adik saya terus terbang mengejar.

Mimpi itu satu-satunya memori saya, dan masih saya ingat setiap detailnya.

Kematian kedua menyapa bertahun kemudian, kematian nenek saya pada 2005. Banyak kematian di antaranya, tetapi tak banyak berpengaruh bagi saya, bahkan mungkin hanya saya dengar sebelah telinga. Sementara kematian nenek adalah hal yang lain lagi. Nenek adalah ibu dari ibu saya. Apapun yang menggunakan kata Ibu, selalu berharga rasanya.

Kabar kematian itu menyergap di tengah subuh. Jam 5 pagi mungkin. Jam yang sama juga menyergap saya atas kematian lain dua tahun lalu, di tengah sunyi kota yang sama dan dingin subuh yang sama. Kematian merajut nama yang berbeda. Kali ini Ayah.
Kali ini ada banyak memori tentangnya.

Setiap kematian meninggalkan kekosongan.

Saya yakin kematian tak pernah jadi akhir. Dalam kepercayaan yang tak bisa saya buktikan, kematian hanyalah pergantian dan perpindahan. Namun, begaimanapun cara saya memaknai mati, tak akan menghentikan kesedihan dan kekosongan untuk menyergap.

Saya percaya tuhan, tetapi saya juga percaya kalau hidup ini bukan sekadar apa-apa yang ditentukan oleh zat yang disembah dengan berbagai nama tersebut. Begitu lahir, saya dibaiat dalam suatu agama yang mengajarkan bahwa hidup adalah jejalin dari apa yang saya pilih, dari setiap keputusan, dan dari cara-cara menghadapi setiap hal yang datang. Maka sebagaimanapun putus asa nya saya, tak pernah ada cukup alasan untuk menyalahkan tuhan. Apalagi menyalahkan orang lain.

Kepercayaan akan hal tersebut membuat saya realistis. Saya berdoa, tetapi saya percaya bahwa apa-apa yang saya butuhkan haruslah diusahakan. Beberapa orang yang sangat saleh mungkin sangat bahagia ketika meletakan semua dengan bersahaja kepada tuhannya. Saya tak bisa mengatakan bahwa saya lebih bahagia dari mereka yang memasrahkan hidup pada tuhannya. Saya hanya merasa saya tak mungkin bisa hidup seperti itu, saya merasa bahwa saya harus bertanggung jawab pada hidup saya, dengan cara mengusahakannya.

Hanya satu hal yang tak bisa saya usahakan: kehidupan. Saya bisa mengusahakan hidup, setiap orang bisa mengusahakan hidup. Namun tak ada yang dapat mengusahakan kehidupan. Tak seorangpun.

Rindu adalah kala ku rapal mantra mantra suci pada zat yang disembah dengan segala nama, harap nafasmu kembali.

Kala ayah terbujur kaku, saya pun hanya membisu. Ini adalah hal yang diluar tanggung jawab saya, di luar hal-hal yang dapat saya usahakan. Mungkin saya sedikit-banyak bertanggung jawab atas apa yang ia rasa semasa hidup. Mungkin saya juga bertanggung jawab atas cara-cara ia meninggal, atas tiap sakitnya, atas penderitaannya. Namun kematian di luar itu semua.

Kematian hanya meninggalkan rindu. Saya seringkali tergoda untuk menganggap bahwa ini hanya mimpi, tergoda untuk merapal doa-doa, memohon bahwa ia masih di sana, bekerja. Namun saya tahu itu sia-sia.


Rindu adalah sepotong senja dimana aku berkunjung dan menyingkirkan debu dari nisanmu.

Maka saya bersiap lagi untuk mengambil keputusan-keputusan, menemui hidup, menonjoknya kalau perlu, agar sedikit lunak pada saya. Karena, kalau saya tak keras pada hidup, atau hidup tak keras pada saya, maka saya akan tertinggal di ujung jalan sana.

Biar kubersihkan nisannya. Kurapal ayat-ayat suci di atasnya. Dan rindu menjadi batas antara saya dan ayah.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island