Posts

Showing posts from July, 2011

Jogja (bukan) milik saya seorang

Pagi ini, secara menakjubkan, tiba-tiba saya merasakan kerinduan yang membuncah pada Jogjakarta. Yang saat itu terpikirkan adalah mengirimkan sebaris pesan singkat pada seorang teman, yang meski juga bukan berasal dari Jogja, tetapi kami menghabiskan tahun-tahun yang tak tergantikan di sana: “mas Kul, kangen jgj :D”. Serta merta teman menjawab: “haduh, klo ak dah lama kngn jgja.ga tau kpn bs k sn.” Tiba-tiba saya merasa geli, membayangkan ada puluhan, mungkin ratusan, atau ribuan orang lain di Jakarta, sebagian saya kenal, sebagian lagi asing, sisanya mungkin akan bertemu di ruang dan waktu yang tak saya tahu. Lalu dari keseluruhan orang-orang itu, kami, terikat pada seuntai benang merah yang sama: kerinduan pada Jogja. Menurut teman yang membalas pesan singkat itu, rasanya seperti berangkat merantau dari kampung halaman yang sama–meski saya dan teman tidaklah berasal dari jogja, juga tidak pandai berbahasa Jawa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kampung halaman di Jogja. Terle

sepotong sajak-kau & aku-hari ini

Aku menebar racun pada malam-malam, merapal mantra, menyembah berhala. Meminta pada bau hujan dan rerasa dosa. Masih kuhamili kata-kata, kubaui rasa. Kusimak percakapan gerimis pada tubir kaca,                sembari menyulam rindu dari tiap cumbuan pada jiwa. Satu persatu  terhitung rintik pada mata kita. Lalu kusebut namamu tiga kali, dengan hati, dalam hati, untuk diriku sendiri.

mawar merah muda dalam keranda

Lima hari di rumah sakit, aku dilarang, juga tidak dapat berbuat apapun. Jangankan duduk, menoleh ke kiri dan ke kanan saja baru dapat aku lakukan dengan sempurna setelah tiga kali fisioterapi. Tertawa juga berdampak buruk buatku. Hambar hidupku lima hari ini. Maka, dalam lima hari ini, kerjaanku selain berak dan kencing adalah makan dan berpikir. Kadang aku kira aku ini kaisar jepang, tapi ternyata ayahku seorang Palembang. Lain waktu aku yakin aku adalah tuhan yang menyamar menjadi yahudi, atau bikhuni. Kalau pikiranku sedang demikian, aku bisa saja memikirkan hidup sekaligus mati. Terlebih, lima hari sebelum lima hari di rumah sakit, aku baru saja menghadiri pemakaman mewah seorang deputi Gubernur Bank Indonesia. Lalu juga kuhadiri perjamuan sarapan para petinggi: perayaan hidup. Begitulah. Selalu ada dua sisi dalam kemungkinan. Dan doa terlalu gaib untuk menjawabnya, atau mungkin terlalu kosong. Aku juga berfikir soal doa-doa. Merapal doa adalah kegiatan yang terlalu gaib bu

Fynn tak lagi datang

(--Tribute to Janin-Hasan Aspahani--) Hari ini Fynn tak datang. Seperti kemarin. Seperti kemarinnya lagi. Kemarin dan kemarin dulu. Harusnya tak lagi ada yang menunggu. Tapi tetap saja, saat senja, dan layung muncul di barat kota, sebongkah keyakinan memaksa bahwa Fynn akan tiba. Keyakinan yang sia-sia. Fynn tetap tak ada. -------------------------------------------------------------------------------------------------------- Di pantai ada peringatan: DILARANG BERENANG. Tulisan itu menyembul bersama tiang putih di antara rerimbunan pandan laut. Tiang putihnya tak seberapa tinggi. Paling hanya 15 centi lebih tinggi dari tubuhku. Dengan tulisan besar-besar berwarna merah darah, dan papan putih yang lebar, harusnya tulisan ini menarik perhatian. Namun belukar pandan laut memeluknya erat. Membuat tiang nampak berkerut, tak dapat beringsut. Tak seorang pun memperhatikan tulisan itu kupikir. Lagi pula laut begini indah, ombak begitu tenang. Bongkahan karang yang tingginya lima kali

simple rule

i only have one simple rule: mean what you say, never say what u don't mean. basa basi is so noisy. broken promises are suck.

jalanan basah

buku hanya benda-benda dan kamu hanya kata-kata: (yang) menunggu gerimis pada tubir kaca. jika cinta adalah cinta, maka tak ada tempat bagi cinta. serupa bunga-bunga, dipetik lalu diletakkan di mata jendela. (yang) memandangi jalanan dengan murka.

mengecup bulan separuh

Image
sekeping langit yang dirajah hampir indah; jika saja tak sekadar lindap bayangmu yang singgah. bulan separuh, menatapku gaduh: menuduh pada bayangmu yang tak mau luruh!

biar rindu tetap di situ

Kematian pertama yang saya temui, saya kira adalah kematian adik laki-laki saya. Ibu tidak pernah bercerita gamblang mengenai kematiannya. Apakah dia mati sesudah dilahirkan ataukah abourtus (baik alami maupun buatan), saya tidak pernah tahu. Dan tidak merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih lanjut. Kematian adik laki-laki saya itu tak pernah saya pikirkan. Saya bahkan tak pernah ingat bagaimana rasanya. Saya tidak merasa kehilangan dan kesedihan. Saya tak punya memori mengenai adik laki-laki saya selain nisan biru yang tampak begitu kecil di antara nisan lainnya. Saya juga tak pernah tahu tepatnya dia meninggal ketika saya berusia berapa. Seingat saya di makamnya tertera 18 Pebruari 1988. Sedangkan akta kelahiran saya tercantum 11 November 1987. Saya tak pernah tahu ada apa sebenarnya dengan tanggal-tanggal itu. Ibu pun menolak bercerita lebih lanjut. Ada banyak kemungkinan di sana. Tetapi saya memutuskan untuk tidak peduli. Kebenaran adalah apa yang kita percayai. Saya putu

Musikalisasi Laskar Pelangi dan kami yang merayakan hidup

Image
Saya pikir puncak dari sebuah pertunjukan adalah saat tirai ditutup, yang kemudian dibuka kembali guna memberi kesempatan pada para pendukung untuk berterima kasih kepada penonton, dan memberi kesempatan para penonton untuk mengapresiasi mereka. Laskar Pelangi Namun hal tersebut tidak berlaku bagi laskar pelangi, dengan berbagai versinya: novel, film, drama musikal. Mau dikemas bagaimanapun, puncak cerita bagi saya adalah adegan perginya cemara angin: Lintang. Saya tidak mau meperdebatkan apakah lintang adalah tokoh fiksi atau nyata. Tak penting apakah dia nyata atau tidak. Lintang sangat menginspirasi. Kegigihannya bersepeda 8 km, dan keikhlasannya meninggalkan bangku sekolah untuk menafkahi adik-adiknya membuat saya malu sudah melakukan kegiatan menye-menye saat ayah meninggal. Padahal ayah saya meninggal ketika saya sudah 20 tahun dan hampir lulus kuliah. Tak ada apa-apanya dibanding Lintang. Lintang adalah pelajaran berharga buat siapapun. Seberapa gigihnya kita mencoba

Detak senja

Cintakah ini? Meski malam-malamku penuh dengan lindapan bayangmu, tak juga dapat kukatan cinta. Ini hanya satu dari tali temali yang masai. Metro TV masih saja memutar debut wawancara Ibas Yudhoyono, sudah tiga hari belakangan. Kuingat jelas gerak-geriknya, mata yang tak berani menatap kamera, gerakan yang perlahan, seperti kloning ayahnya dengan segala gerak yang tertata. Kalau sudah begini, aku jadi merindukan pertandingan sepak bola yang tak pernah kusuka itu. Betatpapun tidak sukanya, pertandingan sepakbola selalu lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan wajah Ibas dan Ruhut yang muncul sehari tiga kali di layar kaca. Pertandingan sepak bola selalu dapat membuat tetangga berkumpul. Masih kuingat gempita menyoraki kemenangan dan mencemooh tiap kekalahan. Selalu menyenangkan melihat kumpulan orang yang berbahagia, meski aku tak pernah bisa mengerti apa yang bisa dirayakan dari 22 lelaki berlarian mengejar gelinding bola. Mungkin akan kupertimbangkan untuk mengikuti perayaan

Rp1,5 juta dan mantan mahasiswa yang belajar bekerja

Image
Pagi ini saya diundang untuk menghadiri sebuah diskusi mengenai perkembangan dunia perbankan Indonesia yang diselenggarakan oleh Marketing Research Indonesia atas pesanan sebuah bank asal Belanda yang berfokus pada pengembangan Agribisnis. Di undangan tertera acara akan dimulai pada pukul 9 pagi. Saya orang yang cukup tepat waktu, kecuali benar-benar ada alasan yang mendesak. Singkat cerita saya sudah sampai pukul 9 pagi. Tetapi kemudian beberapa kali saya diberi informasi membingungkan antara dimulai pukul 10 pagi, atau 10.30. Alih-alih memberi penjelasan, si empunya acara malah memberi saya penganan ringan seolah penganan dapat menjelaskan segalanya. Pukul 10.30 saya mulai resah. Setelah berdiskusi dengan redaktur, akhirnya saya memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Persoalan timbul ketika saya pamit pulang (tidak sopan kalau saya pergi begitu saja), penyelenggara acara meminta saya menerima sebuah amplop berisi uang, sebagai permintaan maaf sudah mengecewakan, juga sebagai a

kemerdekaan kita atas diri kita sendiri

Image
New York Times edisi 3 Juli menuliskan tajuk yang menurut saya ciamik. tajuk tersebut membicarakan hari kemerdekaan Amerika Serikat yang jatuh pada 4 Juli. Tak berbeda dengan Sidang BPUPKI yang mengesahkan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus tetapi baru dideklarasikan pada 17 Agustus, Amerika menaglami hal serupa. Mosi kemerdekaan sudah dilancarkan pada 2 Juli, namun deklarasi kemerdekaan baru diucapkan pada 4 Juli. Lebih dari sekadar persoalan tanggal, kemerdekaan adalah suatu yang diresapi dan didefinisi ulang, bukan sekadar dinikmati. Deklarasi sebagai pernyataan secara sadar mengenai keadaan kita, adalah pembentukan sendi. Klise, tapi apa iya kita sudah melakukan hal demikian? Berikut tajuk tersebut setelah saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia: ----------------------------------------------- 4 Juli, suatu hari dalam satu tahun (disadur dari Tajuk New York Times 3 Juli 2011) Tiba-tiba saja kita sudah berada pada pertengahan 2011, meski sedikit terlawa

Putri Impian Vs Dewi Sartika

Image
Makan malam saya kali ini disambut oleh video klip dari penyanyi cilik yang liriknya kurang lebih begini: "Aku lah putri impian, cantik seperti bidadari" Saya melongo mendengar dan melihatnya. Video klip tersebut juga menyertakan acara kontes dengan tag line: "Jadilah putri Tercantik!" Betapa menyedihkan anak zaman sekarang. Sejak begitu dini sudah dicuci otak bahwa hal penting dalam menjadi perempuan adalah menjadi cantik, mengenakan gaun dan perhiasan. (dalam video klip tersebut ketiga anak berdan-dan dengan gaun a la kerajaan abad pertengahan lengkap dengan make up dan perhiasan). Tidak heran kalau angka anorexia, bulimia, operasi wajah dan suntik putih pada remaja akan meningkat. Dari kecil saja penekanan yang mereka dapat adalah kecantikan fisik, bukan kecantikan hati. Blah... Ga perlu ya saya bicarakan soal kecantikan hati, nanti malah membawa pada perdebatan kepentingan otak, hati dan fisik. Siti Walidah Saya hanya mau membandingkan, dengan

Catatan harian si Boy

Image
Film dibuka dengan adegan balapan paling seru yang pernah saya lihat di film Indonesia. Setting tempat yang mengambil lokasi bundaran hotel Indonesia dan fly over menuju Rasuna Said, memberi kedekatan tersendiri. Dan bagaimana Satrio tidak lolos dari kejaran polisi juga membuat film ini menjadi lebih nyata. Adegan balapan ini, meski tak sekeren fast and furious, tetap membuat adrenalin meningkat. Ga cuma adegan balapan di Thamrin, beberapa adegan "jagoan" lain juga bikin menahan nafas, mulai dari adegan cegat-cegatan di jalan raya, sampe tonjok-tonjokan di bawah hujan. Kalau sudah begitu, maka lelucon adalah pemecah ketegangan yang paling juara. Hal ini diramu jadi satu dan tak lupa tambahkan drama percintaan anak muda. Candaan segar sudah dimulai sejak awal, berlanjut ke penjara, bahkan hingga film selesai. Meski menghadirkan tokoh lelaki gemulai di dalamnya, Putrama Tuta tidak membuat penonton menertawai tokoh tersebut, melainkan tertawa bersama si tokoh.